Sabtu, 04 September 2010

INFO TENTANG ILMU

EFEKTIFITAS VEGETATIF DALAM KONSERVASI TANAH DAN AIR PADA SUATU DAS

Makalah Perorangan : Pengantar Ke Falsafah Ilmu Oleh : Suhardi / A 262030061
A. Pendahuluan
Dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu teknologi pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan pertanian
berkelanjutan bilama memiliki ciri seperti : dapat meningkatkan pendapatan petani,
komoditi yang diusahakan sesuai dengan kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima
oleh pasar, tidak mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan
teknologi tersebut dapat diterapkan oleh masyarakat (Sinukaban, 1994).
Ada beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan
pembangunan yang berkelanjutan (Sinukaban, 2003) yaitu :
a. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage,
countur farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan residu
tanaman, dll.
b. Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
c. Struktur/konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam,
Saluran, dll.
d. Manajemen berupa perubahan penggunaan lahan.
Tanah dengan penutup tanah yang baik berupa vegetasi, mulsa residu tanaman
akan memperkecil erosi dan run off. Harsono (1995), lahan tertutup dengan hutan,
padang rumput dapat mengurangi erosi hingga kurang dari 1% dibandingkan
dengan tanah terbuka. Permukaan tanah dengan penutupan yang baik dapat
berdampak terhadap :
o Menyediakan cadangan air tanah
o Memperbaiki/menstabilkan struktur tanah,
o Meningkatkan kandungan hara tanah, sehingga lebih produktif
o Mempertahankan kondisi tanah dan air.
o Memperbaiki ekonomi petani.
3
Makalah Perorangan : Pengantar Ke Falsafah Ilmu Oleh : Suhardi / A 262030061
Teknologi vegetatif (penghutanan) sering dipilih karena selain dapat
menurunkan erosi dan sedimentasi di sungai-sungai juga memiliki nilai ekonomi
(tanaman produktif) serta dapat memulihkan tata air suatu DAS (Hamilton, et.al.,
1997).
B. Apakah Vegetatif Dapat Mengkonservasi Tanah dan Air?
Teknik konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dalam
bentuk pengelolaan tanaman berupa pohon atau semak, baik tanaman tahunan
maupun tanaman setahun dan rumput-rumputan. Teknologi ini sering dipadukan
dengan tindakan konservasi tanah dan air secara pengelolaan.(Sinukaban, 2003).
Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan
keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat : (1) memelihara kestabilan struktur
tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan
lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat
meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas
tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi.
Fungsi lain daripada vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya
yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan petani
(Hamilton, et.al., 1997).
Baker (1956) dalam Foth (1995), membedakan efek penutup tanah menjadi
lima kategori :
1. Intersepsi terhadap curah hujan
2. Mengurangi kecepatan run off
3. Perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah.
4. Mempengaruhi aktifitas mikro organisme yang berakibat pada meninhkatkan
porositas tanah.
5. Transpirasi tanaman akan berpengaruh pada lengas tanah pada hari berikutnya.
Penelitian oleh Kelman (1969) dalam Hamilton, et.al., (1997) di Mount APO
Mindanau pada kemiringan 20% mengenai erosi pada berbagai penutup tanah
seperti pada Tabel 1.
4
Makalah Perorangan : Pengantar Ke Falsafah Ilmu Oleh : Suhardi / A 262030061
Tabel 1. Pengaruh Penutup Tanah pada Erosi
Erosi
No. Penutup Tanah
Ton/ha/thn Ratio thd hutan primer
1 Primary forest 0,09 1,0
2 Soft wood grassland 0,13 1,4
3 Imperata 0,18 2,0
4 New rice Kaingin 0,38 4,2
5 12 year old Kaingin 27,60 306,7
Dari tabel di atas terlihat bahwa erosi meningkat secara eksponensial dengan
berkurangnya penutupan tanah.
Pengelolaan tanaman penutup tanah secara intercropping dengan tanaman
pohon dapat mengurangi erosi. Chang dan Cheng (1974) dalam Hamilton, et.al.,
(1997) meneliti tentang intercropping tanaman penutup tanah dengan citrus.
Tanaman penutup tanah meliputi : Centrosema, Indegofera, Bahia grass, Guinea
grass, Summer soy bean, Rice straw mulch. Hasilnya menunjukkan bahwa Bahia
grass, Guinea grass dan Rice Straw mulch sangat efektif sekali untuk mencegah
erosi dan run off.
Pengaruh berbagai penutup tanah, praktek-praktek pengelolaan penutup tanah
dan praktek konservasi terhadap erosi pada perkebunan pisang dengan kemiringan
yang cukup di Taiwan dipelajari oleh Wang dkk (1970) dan Cang (1970). Wang
mendapatkan bahwa barier rumput atau jalur-jalur mulsa mengurangi run-off. Tanpa
adanya mulsa penutup tanah dengan indegofera atau bahia grass adalah sangat
efektif dalam mengurangi run-off dan erosi.
Florideo (1981) dalam Hamilton, et.al., (1997)mengamati bahwa
pemangkasan selektif terhadap kelebatan pohon sebesar 40 % tidak menimbulkan
erosi yang berarti. Akan tetapi penebangan hutan dimana pohon-pohonnya ditarik
keluar akan menimbulkan erosi tanah
5
Makalah Perorangan : Pengantar Ke Falsafah Ilmu Oleh : Suhardi / A 262030061
C. Bagaimana Vegetatif Dapat Berfungsi Sebagai Konservasi
Tanah dan Air?
Vegetatif dapat berfungsi dalam konservasi tanah dan air karena ia
memiliki beberapa manfaat yang mendukung terciptanya pertanian berkelanjutan.
Menurut Hamilton (1997), bahwa vegetatif memeliki beberapa manfaat yang
merupakan ciri pertanian berkelanjutan seperti konservasi, reklamasi dan memiliki
nilai ekonomi yang tinggi.
1. Aspek Konservasi
Aspek konservasi berupa konservasi tanah dan air melalui peningkatan
infiltarasi, sehingga cadangan air tanah tersedia dan dapat mencegah terjadinya
erosi baik oleh air karena aliran permukaan, maupun akibat angin dan salinasi.
Menurut Mawardi (1991) bahwa secara umum infiltarasi dipengaruhi
oleh:
(1) intensitas hujan atau irigasi,
(2) kandungan lengas tanah, dan
(3) faktor tanah.
Faktor tanah merupakan sifat internal tanah dan sifat lain yang
dipengaruhi oleh cara pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah dapat
mempengaruhi struktur tanah, keadaan dan bentuk permukaan tanah serta
keadaan tanaman.
Penutupan tanah dengan vegetasi dapat meningkatkan infiltrasi karena
perakaran tanaman akan memperbesar granulasi dan porositas tanah, disamping
itu juga mempengaruhi aktifitas mikroorganisme yang berakibat pada
meningkatkan porositas tanah (Harsono, 1995). Selanjutnya air masuk melalui
infiltrasi tetap tersimpan karena tertahan oleh tanaman penutup di bawahnya
atau sisa-sisa tanaman berupa daun yang sifatnya memiliki penutupan yang
rapat sehingga menekan evaporasi.
Demikian halnya dengan aspek konservasi tanah, vegetasi memiliki
peranan penting karena dapat mengurangi peranan hujan dalam proses
6
Makalah Perorangan : Pengantar Ke Falsafah Ilmu Oleh : Suhardi / A 262030061
terjadinya erosi. Menurut Harsono (1995), bahwa proses terjadinya erosi oleh
hujan sebagai berikut :
(1). Pelepasan butiran tanah oleh hujan.
(2). Transportasi oleh hujan
(3). Pelepasan (penggerusan/scouring) oleh run off.
(4). Transportasi oleh run off.
Menurut Sukirno (1995), bahwa usaha konservasi tanah pada hakekatnya
adalah pengendalian energi dari akibat tetesan hujan maupun limpasan
permukaan dalam proses terjadinya erosi. Prinsip pengendalian energi ini
dengan usaha :
1. Melindungi tanah dari prediksi pukulan air hujan (erosi percik), dengan
tanaman penutup tanah.
2. Mengurangi kecepatan energi kinetik tetesan air hujan, dengan tanaman
pelindung, atau pelindung lainnya.
3. Mengurangi energi kinetik limpasan permukaan.
2. Aspek Reklamasi.
Aspek reklamasi berupa perbaikan unsur hara dari proses dekomposisi
dedaunan/serasah, sehingga dapat meningkatkan unsur N, K. Kerusakan lahan
banyak diakibatkan oleh erosi berupa hilangnya tanah dengan kandungan bahan
organik dan Nitrogen yang sangat merugikan teristimewa terhadap tanaman bijibijian
bukan leguminosa. Penurunan Nitrogen tanah dapat diperbaiki dengan
menggunaan pupuk Nitrogen, tetapi membutuhkan biaya yang besar. Namun
dengan adanya sisa-sisa tanaman yang telah mengalami perombakan secara
ekstensif dan tanah sampai perubahan lebih lanjut yang dikenal dengan humus
dapat memperbaiki kandungan Nitrogen, Kalium, Karbon, Pospor, Sulfur,
Calsium, dan Magnesium. Secara skematis, mekanisme pembentukan humus
dalam perombakan sisa-sisa tanaman dalam tanah (Foth, 1995) seperti pada
Gambar 1.
7
Makalah Perorangan : Pengantar Ke Falsafah Ilmu Oleh : Suhardi / A 262030061
Humus mengabsorbsi sejumlah besar air dan menunjukkan ciricirinya
untuk mengembang dan menyusut. Humus merupakan faktor penting
dalam pembentukan struktur tanah. Humus mempunyai ciri-ciri fisik lain dan
sifat fisikokimia yang menjadikan humus merupakan unsur pokok tanah yang
bernilai tinggi.
Gambar 1. Mekanisme pembentukan humus.
3. Aspek Ekonomi.
Dimana tanaman vegetasi penutup berupa tanaman agroforestri yang
dikembangkan memiliki kontribusi produksi yang nyata sehingga dapat
meningkatkan taraf kehidupan petani. Agroforestri memiliki fungsi ekonomi
bagi suatu masyarakat. Peran utama bagi petani bukan hanya produksi bahan
pangan melainkan juga sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal.
Pendapatan petani dari system agroforestri umumnya dapat menutupi kebutuhan
sehari-hari dari hasil panen secara teratur seperti lateks, damar, kopi, kayu
manis dan lain-lain. Selain itu juga dapat membantu menutupi pengeluaran
tahunan dari hasil panen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, pala
dan lain-lain. Komoditas lainnya berupa kayu juga dapat menjadi sumber uang
cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan
tabungan untuk kebutuhan mendadak. Meskipun tidak memungkinkan
8
Makalah Perorangan : Pengantar Ke Falsafah Ilmu Oleh : Suhardi / A 262030061
akumulasi modal secara cepat dalam bentuk syste-aset yang dapat segera
diuangkan, namun diverifikasi tanaman merupakan jaminan petani terhadap
ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan
pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga suatu komoditas,
spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan, hingga suatu saat
pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menyebabkan
gangguan ekologi terhadap system ini, dan bahkan komoditas tersebut akan
tetap hidup dalam struktur kebun dan siap untuk dipanen sewaktu-waktu.
Sementara komoditas lainnya tetap akan ada yang dapat dipanen, bahkan
komoditas baru dapat diintroduksi tanpa merombak system produksi yang ada.
D. Untuk Apa Vegetatif Dikembangkan pada Suatu DAS?
Teknologi vegetatif tepat diterapkan pada suatu DAS dengan distribusi debit
sungai yang tidak seragam. Artinya perbedaan antara debit puncak dan aliran dasar
sangat besar. Percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia berupa
membandingkan DAS untuk pertanian, dengan satu 25 % wilayahnya dihutankan
kembali, dan yang lain lagi 100 % dihutankan kembali dengan Pinus mercusii,
Tectona gandis, Swetenia macrophylla dan Eucalyptus alba. Hasil dilaporkan
bahwa, daerah yang dihutankan kembali aliran sungainya secara terus-menerus
dalam musim kering yang besarnya 2,5 kali lipat dari aliran sungai yang berasal dari
DAS untuk pertanian (Hamilton, et.al., 1997).
Selanjutnya Hamilton, et.al., (1997), melaporkan pula bahwa dengan
penanaman hutan mengakibatkan volume aliran mendadak yang agak lebih rendah,
penurunan nyata dalam debit puncak, serta penundaan waktu tercapainya puncak
yang nyata. Percobaan Pine Tree Branch yang dilaksanakan antara tahun 1941-1960
tidak hanya menunjukkan penurunan yang besar dalam puncak musiman tertinggi,
tetapi juga penurunan dalam pelepasan aliran puncak dari badai sebelum dan
sesudah penanaman yang sebanding yang meliputi seluruh kisaran keadaan lengas,
intensitas curah hujan dan musim (Tennesse Valley Athority, 1962 dalam Hamilton,
9
Makalah Perorangan : Pengantar Ke Falsafah Ilmu Oleh : Suhardi / A 262030061
et.al., 1997). Sebagai contoh, waktu yang diperlukan oleh 20 dan 95 persen air yang
jatuh untuk mengalir ke luar dari daerah tampung masing-masing menjadi lebih
lama kira-kira 5-18 kali, dan penurunan debit puncak antara 92-97 % dalam musim
pertumbuhan dan 71-92 % dalam musim dorman. Demikian halnya dengan hasil
penelitian Tsukamoto yang dilaporkan pada tahun 1981 menunjukkan bahwa di
Jepang debit puncak dari DAS yang gundul adalah 1,4 kali lebih besar daripada
DAS yang dihutankan kembali.
Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap
erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta hektar hanya terjadi sebesar 0,4
ton/ha/thn (Pauler dan Heady, 1981 dalam Hamilton, et.al., 1997). Pada hutan
sekunder sedimen hanya terjadi sebesar 1,19 ton/ha/thn. Anderson (1978),
mengamati bahwa erosi meningkat sebagai akibat hutan yang terbakar, sedimen
terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn atau 5-8 kali daripada hutan yang tidak terganggu di
DAS Oregon USA.
E. Penutup
Pengelolaan secara vegetatif merupakan salah satu teknologi konservasi tanah
dan air dalam rangka menuju pertanian berkelanjutan. Teknologi ini dapat
memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dan penutupan lahan
sehingga dapat meningkatkan infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi, memperbaiki
hara tanah serta memiliki nilai ekonomi.
Teknologi ini tepat diterapkan pada suatu DAS dengan distribusi aliran yang
memiliki perbedaan yang cukup besar antara volume aliran puncak dan aliran dasar.
Karena dengan menghutankan suatu DAS, maka aliran sungainya secara terus
menerus dalam musim kering besarnya mencapai 2,5 kali lipat dari aliran sungai
yang berasal dari DAS yang tidak berhutan.
Hutan yang tidak terganggu merupakan penutup tanah yang baik terhadap
erosi. Sedimen yang tersuspensi pada 250 juta ha hanya terjadi sebesar 0,4
10
Makalah Perorangan : Pengantar Ke Falsafah Ilmu Oleh : Suhardi / A 262030061
ton/ha/thn. Namun pada hutan yang terbakar mengakibatkan erosi meningkat,
demikian halnya dengan sedimen terjadi sebesar 3,12 ton/ha/thn atau 5-8 kali
daripada hutan yang tidak terganggu.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Rencana Teknik Lapangan
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Foth, H.D., 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. (Fundamentals of Soil Science). Gadjah
Mada Univesity Press. Yogyakarta.
Hamilton, L.S. dan P.N.King, 1997. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika (Tropical
Forested Watersheds). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Harsono, 1995. Hand Out Erosi dan Sedimentasi. Program Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Mawardi, M., 1991. Hand Out Hidrologi Pertanian. Program Studi Mekanisasi
Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi.
Faperta IPB. Bogor.
Sinukaban, N., 2003. Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sukirno, 1995. Hand Out Teknik Konservasi Tanah. Program Studi Teknik
Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

KONSERVASI

TEKNOLOGI DAN STRATEGI KONSERVASI TANAH DALAM KERANGKA REVITALISASI PERTANIAN

Oleh: Abdurachman Adimihardja; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123, Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 2008: 105-124

(Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 19 Desember 2007 di Bogor.

PENDAHULUAN

Salah satu bagian penting dari budi daya pertanian yang sering terabaikan oleh para praktisi pertanian di Indonesia adalah konservasi tanah. Hal ini terjadi antara lain karena dampak degradasi tanah tidak selalu segera terlihat di lapangan, atau tidak secara drastis menurunkan hasil panen. Dampak erosi tanah dan pencemaran agrokimia, misalnya, tidak segera dapat dilihat seperti halnya dampak tanah longsor atau banjir badang. Padahal tanpa tindakan konservasi tanah yang efektif, produktivitas lahan yang tinggi dan usaha pertanian sulit terjamin keberlanjutannya.

Praktek pertanian yang buruk ini tidak hanya ditemui di Indonesia, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Hal ini tercermin dari pernyataan Lord John Boyd Orr (1948), Dirjen FAO pertama, dalam (Dudal 1980) sebagai berikut: “If the soil on which all agriculture and all human life depends is wasted away, then the battle to free mankind from want cannot be won”. Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya konservasi tanah untuk memenangkan perjuangan kemanusiaan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Sebagai gambaran yang mengkhawatirkan di Indonesia, khusus di Pulau Jawa saja, kerugian akibat erosi tanah mencapai US$341-406 juta/tahun (Margrath dan
Arens 1989). Data lain menunjukkan bahwa selama periode 1998-2004, terjadi 402 kali banjir dan 294 kali longsor di Indonesia, yang mengakibatkan kerugian materi sebagai tangible product senilai Rp668 miliar (Kartodihardjo 2006). Nilai intangible products yang hilang sulit dikuantifikasi, baik dalam aspek ekologis, lingkungan maupun sosial dan budaya, sebagai bagian dari multifungsi pertanian. Namun dapat dipastikan bahwa nilai intangible tersebut sangat besar, baik secara material maupun immaterial.

Tingkat laju erosi tanah pada lahan pertanian berlereng antara 3-15% di Indonesia tergolong tinggi, yaitu berkisar antara 97,5-423,6 t/ha/tahun. Padahal,
banyak lahan pertanian yang berlereng lebih dari 15%, bahkan lebih dari 100%, sehingga laju erosi dipastikan sangat tinggi. Hal ini terjadi terutama karena curah
hujan yang tinggi dan kelalaian pengguna lahan dalam menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.

Pemerintah melalui Departemen Pertanian terus mengupayakan peningkatan produksi pertanian nasional khususnya bahan pangan dengan melaksanakan dua
program utama, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Kedua program yang untuk mensukseskannya tidak mudah dan memerlukan biaya besar ini, pada implementasi di lapangan tidak selalu disertai penerapan tindakan konservasi tanah, yang sebenarnya sangat penting untuk menjamin keberlanjutannya.

Peran dan kebijakan pemerintah sangat penting dan menentukan keberhasilan upaya konservasi tanah, guna mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan, yang dicirikan dengan tingkat produktivitas tinggi dan penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah. Upaya konservasi tidak akan berhasil apabila dipercayakan hanya kepada pengguna lahan, karena terkendala oleh berbagai keterbatasan, terutama lemahnya modal kerja.

Mengingat makin luas dan cepatnya laju degradasi tanah, dan masih lemahnya implementasi konservasi tanah di Indonesia, maka perlu segera dilakukan upaya terobosan yang efektif untuk menyelamatkan lahan-lahan pertanian. Upaya konservasi tanah harus mengarah kepada terciptanya sistem pertanian berkelanjutan yang didukung oleh teknologi dan kelembagaan serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan sumber daya lahan dan lingkungan. Upaya ini selaras dan mendukung Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), yang salah satu sasaran utamanya adalah optimalisasi dan pelestarian lahan.

DEGRADASI TANAH DI INDONESIA

Degradasi tanah di Indonesia yang paling dominan adalah erosi. Proses ini telah berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan pertanian. Jenis degradasi yang lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, aktivitas penambangan dan industri, serta dalam arti luas termasuk juga konversi lahan pertanian ke nonpertanian.

Jenis-jenis Degradasi Tanah

Erosi Tanah

Hasil penelitian mengindikasikan laju erosi tanah di Indonesia cukup tinggi dan telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dan masih berlanjut hingga kini. Beberapa data dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Sedimentasi di DAS Cilutung, Jawa Barat, memperlihatkan kenaikan laju erosi tanah dari 0,9 mm/tahun pada 1911/1912 menjadi 1,9 mm/tahun pada 1934/1935, dan naik lagi menjadi 5 mm/ tahun pada 1970-an (Soemarwoto 1974).
b. Laju erosi di DAS Cimanuk, Jawa Barat, mencapai 5,2 mm/tahun, mencakup areal 332 ribu ha (Partosedono 1977).
c. Pada tanah Ultisols di Citayam, Jawa Barat yang berlereng 14 % dan ditanami tanaman pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo 1981).
d. Di Putat, Jawa Tengah, laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung, Jawa Timur, sekitar 14 mm/tahun. Keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9-10 % yang ditanami tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985).
e. Di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada tanah Ultisols berlereng 3,5 % yang ditanami tanaman pangan semusim. Pada tanah Ultisols berlereng 14 % di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al. 1985).

Data di atas mengindikasikan bahwa sekitar 40-250 m3 atau 35-220 ton tanah/ha lahan tererosi setiap tahun, dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28 ton tanah/ ha/tahun, dibanding di Amerika Serikat yang hanya 0,7 ton/ha/tahun. Data menunjukkan bahwa luas lahan kritis di Indonesia terus meningkat, yang diperkirakan telah mencapai 10,9 juta ha. Bahkan Departemen Kehutanan mengidentifikasi luas lahan kritis mencapai 13,2 juta ha. Penyebab utamanya adalah erosi dan longsor.

Pencemaran Tanah dan Kebakaran Hutan

Selain terdegradasi oleh erosi, lahan pertanian juga mengalami penurunan kualitas akibat penggunaan bahan agrokimia, yang meninggalkan residu zat kimia dalam tanah atau pada bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi. Hasil penelitian menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan tanah sawah di Jawa, seperti organofosfat, organoklorin, dan karbamat (Ardiwinata et al. 1999; Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al. 1999). Pencemaran tanah juga terjadi di daerah pertambangan, seperti pertambangan emas liar di Pongkor, Bogor, yang menyebabkan pencemaran air raksa (Hg) dengan kadar 1,27-6,73 ppm sampai jarak 7-10 km dari lokasi pertambangan. Pencemaran tanah juga ditemukan di kawasan industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan cat. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan pencemaran tanah antara lain adalah Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku Mutu Tanah 2000).

Proses degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun, terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bakornas-PB dalam Kartodihardjo (2006), pada tahun 1998-2004 di Indonesia terjadi 193 kali kebakaran hutan, yang mengakibatkan 44 orang meninggal dan kerugian harta-benda senilai Rp647 miliar. Menurut Bappenas (1998), sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia terbakar selama musim kering 1997 dan 1998. Parish (2002) melaporkan terjadinya kebakaran gambut seluas 0,5 juta ha di Kalimantan pada musim kering 1982 dan 1983. Selain tanaman dan sisa-sisa tanaman yang ada di permukaan tanah, berbagai material turut hangus terbakar, seperti humus dan gambut. Menurut Jaya et al. (2000), kebakaran hutan mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut. Kerugian lainnya berupa gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup, kesehatan manusia dan hewan, serta kelancaran transportasi (Musa dan Parlan 2002).

Banjir, Longsor, dan Konversi Lahan

Degradasi lahan pertanian juga sering disebabkan oleh banjir dan longsor, yang membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke bagian di bawahnya. Proses ini menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian baik di lokasi kejadian maupun areal yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut. Proses degradasi lahan pertanian (dalam makna yang sebenarnya), yang tergolong sangat cepat menurunkan bahkan
menghilangkan produktivitas pertanian adalah konversi ke penggunaan nonpertanian.

Pada tahun 1981-1999, di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,6 juta ha; dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et al. 2001). Winoto (2005) menyatakan sekitar 42,4% lahan sawah beririgasi (3,1 juta ha) telah direncanakan untuk dikonversi. Kondisi terburuk terjadi di Jawa dan Bali, karena 1,67 juta ha atau 49,2% dari luas lahan sawah berpotensi untuk dikonversi.

Dampak Degradasi Tanah

Degradasi tanah tidak hanya berdampak buruk terhadap produktivitas lahan, tetapi juga mengakibatkan kerusakan atau gangguan fungsi lahan pertanian.

Produksi dan Mutu Hasil Pertanian

Erosi tanah oleh air menurunkan produktivitas secara nyata melalui penurunan kesuburan tanah, baik fisika, kimia maupun biologi. Langdale et al. (1979) dan Lal (1985) melaporkan bahwa hasil jagung menurun 0,07-0,15 t/ha setiap kehilangan tanah setebal 1 cm. Hal ini terjadi karena tanah lapisan atas memiliki tingkat kesuburan paling tinggi, dan menurun pada lapisan di bawahnya. Penyebab utama penurunan kesuburan tersebut adalah kadar bahan organik dan hara tanah makin menurun, tekstur bertambah berat, dan struktur tanah makin padat.

Penurunan produktivitas dan produksi pertanian juga dapat terjadi akibat proses degradasi jenis lain seperti kebakaran hutan (lahan) dan longsor, serta konversi lahan pertanian ke nonpertanian.

Sumber Daya Air

Erosi tanah bukan hanya berdampak terhadap daerah yang langsung terkena, tetapi juga daerah hilirnya, antara lain berupa pendangkalan dam-dam penyimpan cadangan air dan saluran irigasinya, pendangkalan sungai, dan pengendapan partikel-partikel tanah yang tererosi di daerah cekungan. Dengan demikian bukan saja lahan yang terkena dampak, tetapi juga kondisi sumber daya air menjadi buruk.

Multifungsi Pertanian

Lahan pertanian memiliki fungsi yang besar bagi kemanusiaan melalui fungsi gandanya (multifunctionality). Selain berfungsi sebagai penghasil produk pertanian (tangible products) yang dapat dikonsumsi dan dijual, pertanian memiliki fungsi lain yang berupa intangible products, antara lain mitigasi banjir, pengendali erosi, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati (Agus dan Husen 2004). Fungsi sosial-ekonomi dan budaya pertanian juga sangat besar, seperti penyedia lapangan kerja dan ketahanan pangan. Eom dan Kang (2001) dalam Agus dan Husen (2004) mengidentifikasi 30 jenis fungsi pertanian di Korea Selatan.

Fungsi-fungsi tersebut dapat terkikis secara gradual oleh erosi dan pencemaran kimiawi, dan dapat berlangsung lebih cepat lagi dengan terjadinya longsor, banjir, dan konversi lahan. Multifungsi tersebut perlu dilindungi, antara lain dengan strategi sebagai berikut: (1) meningkatkan citra pertanian beserta multifungsinya, (2) mengubah kebijakan produk pertanian harga murah, (3) meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian, dan (4) menetapkan lahan pertanian abadi (Abdurachman 2006a).

Permasalahan Konservasi Tanah

Faktor Alami Penyebab Erosi

Kondisi sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi tanah, terutama tiga faktor berikut: (1) curah hujan yang tinggi, baik kuantitas maupun intensitasnya, (2) lereng yang curam, dan (3) tanah yang peka erosi, terutama terkait dengan genesa tanah

Data BMG (1994) menunjukkan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah Indonesia memiliki curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara 2.000-3.500 mm, dan hanya 17,2% yang memiliki curah hujan tahunan < 2.000 mm. Dengan demikian, curah hujan merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup areal yang luas. Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping curah hujan. Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng > 3% dengan topografi datar, agak berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng < 3%) hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia (Subagyo et al. 2000). Secara umum, lahan berlereng (> 3%) di setiap pulau di Indonesia lebih luas dari lahan datar (< 3%). Praktek Pertanian yang Kurang Bijak Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng > 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan. Secara keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002), namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri, pertambangan, dan sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian terdesak ke lahanlahan berlereng curam.

Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budi daya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang banyak dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap sebagai bagian penting dari pertanian.

Faktor Kebijakan dan Sosial- Ekonomi

Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan teknologi, tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hudson (1980) menyatakan bahwa walaupun masih ada kekurangan dalam teknologi konservasi dan masih ada ruang untuk perbaikan teknis, hambatan yang lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan ekonomi.

Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan yang ada belum memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama pembangunan pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal aspek tersebut berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di masa mendatang.

Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga sering menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi mereka untuk mengabaikan konservasi tanah.

Konversi lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian (Abdurachman 2004). Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem perundangundangan. Selain itu, faktor teknis dan ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan dengan alasan mudah dan murah.

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH

Degradasi tanah diartikan sebagai suatu proses, fenomena atau transformasi yang menurunkan kualitas tanah, yang menyebabkan sifat-sifat fisika, kimia atau biologi tanah menjadi kurang sesuai untuk pertanian (Arshad et al. 1998). Oleh karena itu, konservasi tanah dimaksudkan untuk melindungi tanah dari pengrusakan oleh proses degradasi tersebut. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) tentang konservasi tanah di Indonesia terus berkembang sesuai dengan makin bervariasinya jenis dan intensitas degradasi.

Perkembangan Penelitian Konservasi Tanah

Sejarah perkembangan iptek dan penelitian tanah di Indonesia diawali pada tahun 1905, bertepatan dengan berdirinya Laboratorium voor Vermeerdering de Kennis van den Bodem (Laboratorium untuk Perluasan Pengetahuan tentang Tanah), yang sekarang menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kegiatan pengembangan ilmu tanah waktu itu mencakup pula penelitian erosi dan konservasi tanah. Namun, penelitian konservasi tanah yang lebih terprogram dan terorganisasi baru dikembangkan pada tahun 1969/1970 dengan dibentuknya Bagian Konservasi Tanah pada Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Secara kronologis, garis besar sejarah perkembangan penelitian konservasi tanah dapat dipilah dalam beberapa kurun waktu sebagai berikut.

Periode 1970-1980

Dalam periode ini pengembangan iptek dan penelitian konservasi tanah didominasi oleh kegiatan di laboratorium dan rumah kaca, didukung dengan beberapa kegiatan penelitian lapangan. Kegiatan penelitian diarahkan untuk mengkompilasi berbagai data fisika dan konservasi tanah serta menguji berbagai metode dan teknologi dasar konservasi tanah dan air, termasuk penggunaan soil conditioner. Dalam periode ini juga dikembangkan teknik
simulasi dan pemodelan, seperti rainfall simulator, Universal Soil Loss Equation (USLE), dan RUSLE (Revised USLE) (Abdurachman et al. 1984; Abdurachman 1989; Abdurachman dan Kurnia 1990).

Beberapa inovasi iptek utama yang dihasilkan dalam periode ini adalah: (1) nilai faktor erodibiltas tanah-tanah Indonesia (Kurnia dan Suwardjo 1984), (2) nilai faktor pertanaman dan tindakan pengendalian erosi (Abdurachman et al. 1984), (3) penggunaan soil conditoner, (4) tingkat erosi tanah pada berbagai lahan pertania, (5) teknologi pengelolaan bahan organik, (6) teknologi pengolahan tanah, (7) teknologi pengendalian erosi, dan (8) teknologi rehabilitasi tanah.

Periode 1980-2002

Dalam periode ini, iptek dan penelitian konservasi tanah lebih diarahkan pada kegiatan lapangan dengan melibatkan petani, dan didukung dengan penelitian rumah kaca dan laboratorium. Kegiatan penelitian dan pengembangan konservasi tanah pada masa ini cukup aktif dan luas, karena didukung oleh berbagai kerja sama dalam dan luar negeri. Kegiatan utamanya antara lain (Abdurachman dan Agus 2000; Agus et al. 2005) : (1) Proyek Penyelamatan Hutan Tanah dan Air di DAS Citanduy, 1982-1988; (2) Proyek Penelitian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P3HTA/ UACP) di DAS Jratunseluna dan Brantas, 1984-1994; (3) Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis di Yogyakarta (YUADP), 1992-1996; (4) Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara, 1986-1995; (5) Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Tanah untuk Mengatasi Peladangan Berpindah, 1990-1993; (6) Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering-UFDP (Upland Farmers Development Project) di Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur, 1993-2000; (7) Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering, di DAS Cimanuk, 1995-2000; (8) Managing of Soil Erosion Consortium (MSEC) di Jawa Tengah, 1995-2004; dan (9) Penelitian Multifungsi Pertanian, antara lain untuk memformulasikan kebijakan pembangunan pertanian dan tata guna lahan, 2000-2005.

Kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut menghasilkan berbagai teknologi dan sistem usaha tani konservasi (SUT), termasuk model kelembagaan dan sistem diseminasinya. Beberapa rekomendasi pengelolaan lahan juga dihasilkan, seperti formulasi dan pemilihan jenis tanaman sesuai kemiringan lereng, SUT pada wilayah pegunungan, dan SUT lahan kering beriklim kering. Bahkan Permentan No. 47/2006 tentang Pedoman Budidaya pada Lahan Pegunungan, pada hakekatnya merupakan kristalisasi, penjabaran, dan aplikasi dari hampir seluruh kegiatan atau program penelitian dan pengembangan konservasi tanah pada periode ini.

Periode 2002-2007

Pada periode ini, kegiatan penelitian konservasi tanah berkurang karena tidak banyak lagi penelitian konservasi yang melibatkan petani pada areal yang luas. Kegiatan lebih banyak berupa desk-work, memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk menyusun baku mutu tanah, pemodelan konservasi tanah, buku petunjuk konservasi tanah, dan sebagainya. Pada periode ini juga diupayakan pengembangan dan diseminasi iptek Prima Tani di berbagai lokasi, terutama pada lahan kering beriklim basah. Kegiatan lain diarahkan pada upaya perakitan teknologi dan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi, seperti lahan bekas tambang, lahan tercemar, bekas longsor, termasuk lahan yang tergenang lumpur di Sidoarjo.

Perencanaan Konservasi Tanah

Wilayah Indonesia yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke memiliki tanah dan unsur-unsur iklim yang sangat beragam, sehingga tingkat bahaya erosi pun berbeda-beda antara satu wilayah dengan lainnya. Oleh karena itu, data dan informasi tentang jenis dan besaran faktor-faktor penyebab erosi sangat penting sebagai dasar perencanaan konservasi tanah yang efektif dan efisien.

Secara umum, faktor-faktor penyebab erosi dapat digambarkan dengan persamaan umum erosi (USLE, Wischmeier dan Smith1978). Untuk wilayah Indonesia, nilai faktor erosi dapat dihitung dengan rumus-rumus yang ditemukan dari hasil penelitian di berbagai stasiun percobaan, antara lain penghitungan nilai erosivitas (Abdurachman 1989), nilai erodibilitas (Abdurachman 1989), dan faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) yang dihitung menggunakan rumus Morgan. Beberapa percobaan lapangan yang dilakukan sejak tahun 1970-an telah menghasilkan nilai C untuk berbagai jenis tanaman (Abdurachman et al. 1984). Faktor tindakan konservasi tanah dihitung de-ngan rumus 5 (Tabel 1). Nilai faktor P dan CP hasil percobaan Lembaga Penelitian Tanah telah dipublikasikan (Abdurachman et al. 1984) dan digunakan dalam penelitian dan perencanaan konservasi tanah.

Untuk keperluan perencanaan konservasi tanah atau perluasan areal pertanian, metode prediksi erosi USLE dapat digunakan dengan hasil yang baik (Abdurachman 1997). Penilaiannya adalah dengan membandingkan jumlah tanah tererosi dengan batas ambang erosi atau tolerable soil loss.
00

Diseminasi dan Pemanfaatan Teknologi

Pada kurun waktu 1982-2005, telah dilaksanakan berbagai kegiatan diseminasi dan pemanfaatan teknologi konservasi pada proyek-proyek konservasi seperti tersebut di atas. Teknologi konservasi yang diterapkan antara lain adalah teras bangku, teras gulud, strip rumput, mulsa, dan pertanaman lorong (alley cropping). Teknik konservasi yang paling banyak diadopsi adalah teras bangku, karena sejak tahun 1975 teknik konservasi ini telah menjadi bagian dari kegiatan penghijauan setelah diterbitkannya Inpres Penghijauan (Mangundikoro 1985). Teknik pertanaman lorong banyak diteliti dan didiseminasikan antara lain untuk menguji berbagai jenis tanaman yang cocok untuk tanaman pagar, dan mempelajari kontribusi serta kompetisi tanaman pagar terhadap tanaman lorong (Haryati et al. 1995; Abdurachman 2003).

Teknik pengendalian degradasi tanah telah dipublikasikan dalam buku, prosiding, dan petunjuk teknis. Teknologi konservasi tanah yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku antara lain adalah teknologi konservasi tanah mekanik (Dariah et al. 2004), teknologi konservasi tanah vegetatif (Santoso et al. 2004), teknologi konservasi tanah pada budi daya sayuran dataran tinggi (Kurnia et al. 2004), dan teknologi pengendalian erosi lahan berlereng (Abdurachman et al. 2005).

Prospek ke Depan

Pengetahuan dan teknologi konservasi tanah yang lebih komprehensif makin diperlukan sejalan dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan degradasi tanah dan lahan sebagai konsekuensi pesatnya pembangunan nasional yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan lahan. Oleh karena itu, teknologi pengendalian erosi saja tidak cukup, karena dewasa ini degradasi tanah tidak hanya diakibatkan oleh erosi, seperti halnya pada 40-50 tahun yang lalu. Degradasi tanah sudah merambah ke proses pencemaran residu bahan-bahan agrokimia dan limbah industri, aktivitas penambangan, kebakaran hutan, dan konversi lahan pertanian.

Pencemaran tanah oleh bahan-bahan agrokimia belum sepenuhnya dapat diatasi, meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi pengadaan (impor), peredaran, dan penggunaan senyawa kimiawi. Di lapangan, penggunaan bahan-bahan agrokimia terus meningkat dari tahun ke tahun (Soeyitno dan Ardiwinata 1999). Pembakaran hutan yang masih terus berlangsung belum mampu dicegah dengan pelarangan penggunaan api untuk pembukaan lahan.

Upaya lain yang mendesak untuk segera ditangani adalah pengendalian degradasi daerah tangkapan hujan (water catchment area) dan pengendalian konversi lahan pertanian. Keduanya menimbulkan hambatan besar bagi pembangunan pertanian, berupa penurunan produksi pertanian nasional, di samping kerugian besar bagi keluarga tani, masyarakat, dan pemerintah daerah.

Informasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa ke depan, teknologi dan kebijakan konservasi tanah dalam arti luas masih perlu dicari dan dikembangkan lebih lanjut. Teknologi pengendalian erosi sudah tersedia, namun diseminasinya perlu ditingkatkan agar dapat diterima dan diadopsi oleh pengguna lahan (Abdurachman dan Hidayat 1999).

KONSERVASI TANAH DALAM KERANGKA REVITALISASI PERTANIAN

Konservasi tanah sangat penting untuk mengatasi degradasi lahan yang merupakan salah satu dari empat ancaman utama terhadap pelaksanaan RPPK, khususnya pada sektor pertanian di mana ketahanan pangan menjadi salah satu pilar utama. Keempat ancaman tersebut adalah: (1) pelandaian dan stagnasi produktivitas padi akibat kemandegan implementasi inovasi teknologi, (2) ketidakstabilan produksi padi akibat cekaman hama dan penyakit serta iklim, (3) degradasi sumber daya pertanian, terutama lahan dan air, serta (4) konversi lahan pertanian.

Kebijakan dan Strategi Revitalisasi Pertanian RPPK yang dicanangkan oleh Presiden pada Juni 2005 merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, serta menjaga kelestarian sumber daya alam (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2005). Dalam RPPK ditetapkan tiga butir kebijakan dan strategi umum, yaitu:

1. Pengurangan kemiskinan dan kegureman, pengurangan pengangguran, serta pencapaian skala ekonomi usaha PPK, terutama melalui pengelolaan pertanahan, tata ruang dan keagrariaan, fasilitasi pengembangan kesempatan kerja dan berusaha di luar usaha tani, pengembangan agroindustri pedesaan, diversifikasi kegiatan produksi, serta pengembangan infrastruktur dan kelembagaan usaha tani.
2. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan distribusi PPK, terutama melalui praktek pertanian yang baik (good agriculture practice), pengembangan usaha baru dan multiproduk, agroindustri pedesaan, infrastruktur, kelembagaan usaha tani, pengembangan akses terhadap berbagai hambatan usaha dan sumber ekonomi biaya tinggi, serta perlindungan usaha atas persaingan tidak adil.
3. Pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan, terutama melalui pengelolaan konservasi, pertanahan, tata ruang dan keagrariaan, serta mendorong pengembangan usaha, penerapan teknologi dan kelembagaan yang ramah lingkungan, serta penegakan hukum.

Ketiga butir kebijakan dan strategi tersebut terkait erat dengan aspek konservasi tanah, yaitu terkendalinya proses degradasi lahan, sehingga sistem pertanian menjadi berkelanjutan dan masyarakat lebih sejahtera .

Peran Konservasi Tanah

Peran konservasi tanah dalam RPPK antara lain dinyatakan dalam butir (3) dan (2) tersebut di atas. Dalam butir (3), jelas dinyatakan bahwa pengelolaan konservasi merupakan strategi utama dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Selanjutnya pada butir (2) ditegaskan strategi utama dalam peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan distribusi, serta praktek usaha pertanian yang baik. Dalam usaha ini, pengelolaan konservasi tanah menjadi komponen utama yang perlu diperhatikan agar tercapai tingkat produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Tanpa konservasi tanah, dapat terjadi erosi pada lahan tanaman pangan sampai 14-15 mm/tahun, seperti di Putat, Jawa Tengah, dan di Punung, Jawa Timur (Abdurachman et al. 1985), Demikian juga pada lahan tanaman pangan yang berlereng 14% di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al. 1985). Mengingat pentingnya konservasi tersebut dalam RPPK khususnya dan pembangunan pertanian pada umumnya, maka selain aspek teknis di lapangan juga perlu didukung sistem kelembagaan yang tegas, seperti regulasi dan instansi pemerintah yang diberi mandat untuk melaksanakan program konservasi, terutama pada lahan pertanian.

Penetapan Lahan Pertanian Abadi

RPPK mengamanatkan perlunya penetapan, penegasan, dan penegakan hukum bagi tersedianya lahan pertanian abadi, yang terdiri atas 15 juta ha lahan beririgasi dan 15 juta ha lahan kering. Penetapan ini merupakan salah satu strategi operasional, dengan tujuan utama untuk mengendalikan konversi lahan pertanian.

Keberadaan lahan abadi tersebut dipandang akan mampu mendukung pemantapan ketahanan pangan dan peningkatan volume ekspor hasil pertanian. Namun jelas, lahan abadi tersebut harus dilengkapi dengan instrumen konservasi tanah yang efektif agar tidak berubah menjadi lahan tidur dan terbengkalai. Penetapan lahan abadi merupakan manifestasi dari kebijakan pemerintah dalam pengelolaan konservasi lahan pertanian

Penetapan lahan sawah abadi 15 juta ha harus didasarkan atas kriteria yang jelas, baik dari aspek teknis maupun aspek hukum, budaya dan sosial, serta dilakukan secara bertahap. Sekarang ini luas sawah baku di Indonesia hanya 7,78 juta ha (BPS 2003), dengan kualitas bervariasi dari sawah irigasi teknis sampai sawah tadah hujan. Dengan menggunakan kriteria biofisik lahan, produktivitas, indeks pertanaman, dan status irigasi, lahan sawah yang layak dijadikan sawah abadi hanya 3,3 juta ha (Abdurachman 2004).

Sementara ini, areal pertanian lahan kering cukup luas, yaitu 39,6 juta ha (BPS 2004), terdiri atas tegalan (15,6 juta ha), pekarangan (5,7 juta ha), perkebunan (18,3 juta ha), lahan kayu-kayuan (10,4 juta ha), serta lahan terlantar (10,2 juta ha). Dengan demikian, menemukan lahan kering abadi 15 juta ha tidak sulit, cukup dengan memilih lahan pertanian yang sudah ada saat ini.

STRATEGI KONSERVASI TANAH DI INDONESIA

Upaya konservasi tanah tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan kemampuan petani saja, karena berbagai keterbatasan, terutama permodalan, selain kurang memahami pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dan menentukan. Demikian juga strategi yang dipilih untuk mensukseskan implementasinya di lapangan sangat menentukan keberhasilan. Strategi tersebut meliputi lima hal sebagai berikut.

Strategi 1 Penyiapan Teknologi Konservasi

Teknologi konservasi tanah yang tepat guna, berupa teknologi pengendalian erosi dan longsor, sudah tersedia. Beberapa di antaranya telah dipublikasikan dalam berbagai media cetak berupa buku, jurnal, dan prosiding. Yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan dan menyusunnya dalam buku teknologi atau menyediakan file elektronis, sehingga dapat diakses dengan mudah oleh penyuluh dan calon pengguna lainnya. Teknologi untuk mengendalikan pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, polusi oleh limbah pertambangan dan industri, serta konversi lahan masih perlu diteliti dan dikembangkan lebih lanjut.

Strategi 2 Percepatan Diseminasi

Upaya penelitian konservasi tanah selama ini belum didukung oleh sistem diseminasi yang handal. Teknologi pengendalian erosi lebih banyak diterapkan pada proyek reboisasi dan penghijauan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Sasaran utaman proyek tersebut adalah kawasan hutan, terutama pada DAS bagian hulu, sedangkan konservasi wilayah pertanian hanya terbatas pada penghijauan lahan pertanian di DAS hulu. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan terhadap materi, program, dan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendukung pembenahan ini, penelitian konservasi tanah perlu diarahkan kepada pencarian metode diseminasi teknologi yang tepat, di samping penelitian teknologinya sendiri.

Salah satu program Departemen Pertanian yang dapat dijadikan wadah percepatan diseminasi teknologi konservasi adalah Prima Tani, yang salah satu tujuannya adalah mempercepat diseminasi inovasi pertanian (Abdurachman 2006b, 2006c). Prima Tani merupakan model pembangunan pedesaan yang mengintegrasikan berbagai program pertanian, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran secara sinergis, yang juga bertujuan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa berupa sumber daya manusia dan lahan. Jadi secara filosofis, semangat Prima Tani sangat dekat dengan semangat konservasi sumber daya. Oleh karena itu, melalui Prima Tani, teknologi konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan petani sebagai percontohan. Lebih jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani sebagai suatu model pembangunan pertanian yang berawal dari desa, dan merupakan tonggak baru sejarah pembangunan pertanian (Abdurachman 2007).

Teknologi konservasi dapat pula didiseminasikan melalui peraturan, seperti dengan penetapan Permentan 47 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Dalam Permentan tersebut dengan tegas ditetapkan strategi dan teknologi konservasi tanah dan air menurut karakteristik lahan dan iklim secara spesifik lokasi. Secara substansial, Permentan tersebut disusun dan merupakan kristalisasi serta sari pati hasil pembelajaran dari berbagai program penelitian dan pengembangan konservasi sejak puluhan tahun yang lalu.

Strategi 3: Reformasi Kelembagaan Konservasi Tanah

Pada tahun 2005, dalam struktur organisasi Departemen Pertanian dibentuk kelembagaan eselon I baru, yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, dengan Permentan No. 299 tahun 2005. Hal ini memberikan harapan akan lebih tertibnya pengelolaan lahan dan air, walaupun mandat konservasi tanah masih diletakkan pada tingkat jabatan yang relatif rendah (eselon III), yaitu Subdit Rehabilitasi, Konservasi, dan Reklamasi Lahan.

Makin cepatnya laju degradasi lahan pertanian, yang mengancam keberlanjutan dan tingkat produksi pertanian, menuntut adanya politik pemerintah yang lebih tegas, antara lain dengan meninjau ulang posisi kelembagaan konservasi tanah. Mandat konservasi tanah di Departemen Pertanian seyogianya dilaksanakan oleh suatu kelembagaan setingkat eselon II (Direktorat Konservasi Tanah), di bawah Ditjen PLA, bahkan lebih baik lagi dibentuk Direktorat Jenderal Konservasi Tanah. Dengan demikian akan ada kelembagaan khusus yang bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang konservasi tanah, yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.

Strategi 4: Relokasi Program Konservasi Tanah

Program konservasi tanah selama ini dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan, dengan nama Reboisasi dan Penghijauan hingga tahun 2002. Kemudian pada tahun 2003 digalakkan gerakan masyarakat yang disebut Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional (Gerhan). Hingga tahun 2006, untuk merehabilitasi lahan 2,1 juta ha digunakan anggaran Rp8,586 triliun atau Rp4 juta/ha, yang bersumber dari dana reboisasi (Kartodihardjo 2006). Namun, hanya 2,1% dari anggaran tersebut yang digunakan untuk pembuatan konstruksi teknis konservasi mekanis, seperti teras dan saluran drainase, sehingga dampak program tersebut tampaknya belum cukup berarti, terutama untuk konservasi lahan pertanian. Berdasarkan kenyataan tersebut, seyogianya program konservasi lahan pertanian dikelola oleh kelembagaan konservasi di Departemen Pertanian yang dikoordinasikan dengan program Dinas Pertanian di provinsi dan kabupaten. Dengan demikian, konservasi lahan pertanian akan mendapat perhatian lebih besar, dan Departemen Kehutanan dapat memfokuskan programnya pada penanganan konservasi kawasan hutan.

Strategi 5: Pelaksanaan Program Pendukung

Upaya konservasi lahan pertanian perlu didukung perbaikan perencanaan dan implementasi programnya, antara lain berupa program sebagai berikut.

Peningkatan Kesadaran Masyarakat

Hasil penelitian di DAS Citarum dan DAS Kaligarang menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan baru mengenal 2-4 jenis fungsi lahan pertanian, yaitu penghasil produk pertanian, pemelihara pasokan air tanah, pengendali banjir, dan penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi kemanusiaan mencapai 30 jenis.

Sehubungan dengan hal tersebut, penggalakan konservasi tanah harus meliputi pula advokasi pentingnya pertanian beserta fungsi gandanya. Dalam jangka pendek, promosi dapat dilakukan melalui seminar dan simposium serta media cetak dan elektronis. Dalam jangka panjang, sasaran advokasi bukan saja masyarakat umum, tetapi juga pelajar dan mahasiswa melalui kurikulum pokok dan ekstra-kurikuler.

Penguatan Kelembagaan Penyuluhan

Kondisi kelembagaan penyuluhan saat ini kurang kondusif untuk pembangunan pertanian secara umum, lebih-lebih untuk pengembangan konservasi tanah. Hal ini terjadi terutama setelah diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, yang antara lain mengalihkan pengelolaan urusan penyuluhan pertanian dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten. Namun dengan diterbitkannya UU No 16/2006 tentang penyuluhan diharapkan fungsi penyuluhan akan lebih baik, apalagi dengan digabungnya penyuluhan pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam satu wadah. Salah satu hal yang perlu diupayakan adalah pengadaan tenaga penyuluh konservasi tanah lapangan yang terlatih dan dibekali pengetahuan dan teknologi konservasi yang memadai.

Penegakan Hukum

RUU Konservasi Tanah masih dalam proses ke arah pengesahan menjadi undang-undang. Namun sebenarnya berbagai peraturan/perundangan yang berkaitan dengan masalah kerusakan lahan pertanian, terutama konversi lahan ke nonpertanian, sudah banyak diberlakukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan Peraturan Daerah. Masalah yang mengemuka adalah lemahnya penegakan hukum terutama karena penerapan law-enforcement yang kurang tegas.

Advokasi Penanggung Jawab

Konservasi Perlu dilakukan advokasi intensif kepada masyarakat luas untuk menjelaskan bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh generasi bangsa Indonesia.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa butir kesimpulan sebagai berikut:

1. Lahan pertanian di Indonesia telah dan terus mengalami degradasi, yang mengancam keberlanjutan sistem pertanian, ketahanan pangan, kesejahteraan petani, dan kelestarian lingkungan. Proses degradasi juga mengancam keberhasilan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, serta menjaga kelestarian sumber daya alam. Namun upaya pemerintah dalam pengendalian degradasi lahan pertanian belum optimal, sementara petani belum mampu mengatasinya sendiri.
2. Jenis degradasi tanah yang dominan adalah erosi yang disebabkan oleh tingginya faktor-faktor pendorong, yaitu kemiringan lahan, curah hujan, kepekaan tanah terhadap erosi, dan kebiasaan bertani tanpa teknik pengendalian erosi. Jenis degradasi lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, longsor, dan konversi lahan pertanian.
3. Iptek konservasi tanah berkembang sejalan dengan perkembangan penelitian dan meningkatnya jenis dan intensitas degradasi tanah. Teknologi pengendalian erosi cukup tersedia, namun diseminasi dan adopsinya oleh pengguna belum terlaksana dengan baik.
4. Pada tataran kebijakan pemerintah, masalah utama yang dihadapi adalah lemahnya kelembagaan dan program konservasi tanah di Departemen Pertanian, yang seyogianya memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi meningkatnya masalah degradasi lahan pertanian. Pada tataran lapangan, masalah yang perlu diatasi adalah yang berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi, budaya, dan hukum.

Dalam kerangka mendukung RPPK khususnya dan pembangunan pertanian pada umumnya, diperlukan strategi dan implikasi kebijakan sebagai berikut:

1. Meningkatkan program penelitian dan pengembangan teknologi konservasi, terutama untuk mengendalikan pencemaran tanah, kebakaran hutan, dan konversi lahan pertanian.
2. Mempercepat diseminasi teknologi pengendalian erosi dan longsor, antara lain melalui Prima Tani, yaitu program pembangunan pertanian yang berawal dari desa, yang antara lain bertujuan memasyarakatkan inovasi pertanian.
3. Meningkatkan posisi kelembagaan konservasi tanah di Departemen Pertanian dari Subdirektorat (Eselon III) menjadi Direktorat Jenderal Konservasi Tanah dan Air. Dengan demikian, akan ada kelembagaan yang kuat untuk memberikan bahan-bahan pertimbangan kepada Menteri Pertanian, melaksanakan penyiapan rumusan dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang konservasi tanah.
4. Mengalihkan program konservasi dan rehabilitasi lahan pertanian dari Departemen Kehutanan ke Departemen Pertanian. Di satu sisi, lahan-lahan pertanian akan dapat dibina dan ditingkatkan produktivitasnya melalui kebijakan dan fasilitasi satu kelembagaan saja, yaitu Departemen Pertanian. Di sisi lain, masalah degradasi kawasan hutan akan dapat diatasi dengan lebih efektif oleh Departemen Kehutanan.
5. Melaksanakan program-program pendukung, yaitu: (a) peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pertanian dengan multifungsinya, (b) penguatan kelembagaan penyuluhan pertanian, termasuk pengadaan tenaga khusus penyuluh konservasi tanah, (c) penegakan hukum dalam perkara yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian,dan (d) advokasi intensif kepada masyarakat luas untuk memberikan penjelasan bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh generasi bangsa Indonesia.

PENUTUP

Sumber daya lahan Nusantara merupakan anugerah dan amanat dari Tuhan Yang Maha Pemurah kepada seluruh bangsa Indonesia. Amanat ini seharusnya dipertanggungjawabkan dengan cara memelihara dan mengoptimalkan pendayagunaannya untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan, Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sumberdaya lahan pertanian dan kawasan hutan digunakan secara tidak rasional, sering ditujukan hanya untuk memperoleh keuntungan jangka pendek semata. Hal ini menimbulkan dampak buruk berupa penurunan produktivitas pertanian, bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan berkepanjangan

Apabila cara-cara mengelola sumber daya lahan tersebut tidak diperbaiki sesuai karakteristik masing-masing lahan maka ancaman malapetaka pasti akan bertambah besar. Hal ini telah diperingatkan pada 14,5 abad yang lalu, dalam Alqur’an: QS 30: 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) “.

Semoga peringatan keras ini menggugah kesadaran dan kearifan kita semua, dan ke depan seyogianya kita lebih waspada dan bijak dalam mengelola sumber daya alam yang dititipkan kepada kita sekalian, bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., S. Abuyamin, dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan tanah dan tanaman untuk usaha konservasi tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 3: 7-11.

Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 4: 41-46.

Abdurachman, A. 1989. Rainfall Erosivity and Soil Erodibility in Indonesia: Estimation and Variation with Time. Doctorate Thesis. University of Ghent, Belgium. 195 hlm.

Abdurachman, A. dan U. Kurnia. 1990. Estimasi indeks erodibilitas tanah dengan menggunakan teknik simulasi hujan di laboratorium. Pemberitaan Penelitin Tanah dan Pupuk 9: 38-45.

Abdurachman, A. 1997. Penggunaan RUSLE untuk menduga erosi tanah pada lahan pertanian di Indonesia. Lokakarya Penetapan Model Pendugaan Erosi Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.

Abdurachman, A. dan A. Hidayat, 1999. Pengelolaan sumber daya lahan dan air untuk mendukung pembangunan pertanian. Seminar Nasional Sektor Pertanian sebagai Andalan Ekonomi Nasional. Jakarta 26-27 Juli 1999.

Abdurachman, A. dan F. Agus. 2000. Pengembangan teknologi konservasi tanah pasca NWMCP. hlm. 25-38. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 2-3 September 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Abdurachman, A. 2003. Strategi dan arah ke depan penelitian dan pengembangan sumber daya lahan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim, 14-15 Oktober 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Abdurachman, A. 2004. Pengendalian konversi lahan sawah secara komprehensif. Makalah pada Round Table Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan Pertanian,14 Desember 2004.

Abdurachman, A., Sutono, dan N. Sutrisno 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan kering berlereng. hlm. 101-140 . Dalam Abdurachman et. al. (Eds). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan.

Abdurachman, A. 2006a. Strategi mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 24 (5): 99-105.

Abdurachman, A. 2006b. Prima Tani: Membangun agroindustri pedesaan dengan inovasi teknologi dan kelembagaan agribisnis. Sinar Tani edisi 23-29/08- 2006. No. 3164 Tahun XXXVI.

Abdurachman, A. 2006c. Prima Tani: Peluang emas bagi pemanfaatan iInovasi pertanian. Agrotek. Edisi Agustus- September 2006. Opini: 32-33.

Abdurachman, A. 2007. Tonggak sejarah pembangunan pertanian. Sinar Tani. Edisi 2007. No. Tahun XXXVII. hlm. 20.

Agus, F. dan E. Husen 2004. Tinjauan umum multifungsi pertanian. Seminar Nasional Multifungsi Pertanian dan Ketahanan Pangan. Bogor. 12 Oktober 2004.

Agus, F., R.L. Watung, Wahyuno, Irawan, A.R. Nurmanaf, Sutono, and S. Tala’ohu. 2005. Assessment of the multifunctionality of agriculture. Environmental aspects and community evaluation. Report of Phase I: Evaluation of Multifunctionality of Paddy Farming and Its Effects in ASEAN Countries. p. 93-154.

Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residu insektisida di Jawa Barat. dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Arshad, M., A. Khalid, and Z.A. Zahir. 1998. Degraded soils and organic matter. APO Seminar on Soil Degradation. Univ of Agriculture. Faisalabad, Pakistan, 19-24 October1998. p. 15.

Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). 1998. Planning for Fire Prevention and Drought Management Project, Jakarta. BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika). 1994. Rainfall types in Indonesia. BMG. Jakarta BPS (Badan Pusat Statistik). 2003-2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budiastoro. 2004. Teknologi konservasi tanah mekanik. hlm. 109-132. Dalam Kurnia et. al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Dudal, R. 1980. An evolution of conservation needs p. 5-12. In R.P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation, Problems and Aspects. John Wiley & Sons, USA.

Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu insektisida pada ekosistem lahan sawah irigasi di Jawa Timur. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pemberitaan PenelitianTanah dan Pupuk 13: 40-50.

Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34. Dalam Abdurachman, Mappaona dan Saleh (Ed.). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Hudson, N. W. 1980. Social, Political and economics aspects of soil conservation. p. 45-54. In P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation Problems and Aspects. John Wiley & Sons, USA. Irawan, B., S. Eriyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rachman, dan B. Wiryono. 2001. Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran pestisida pada agroekoistem lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin. and H.D.V. Bohn. 2000. Impact of forest fire on carbon storage in tropical peat lands. p. 106-113. In L.Rochefort and J.Y. Daigle (Eds). Sustaining Our Peatlands. Proc. of the 11th International Peat Congress, Quebec, Canada.

Kartodihardjo, H. 2006. Masalah dan kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan. Makalah pada Diskusi Terbuka Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Kebijakan, operasionalisasi dan gagasan baru. Institut Pertanian Bogor. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Jakarta. hlm. 56.

Kurnia, U. dan Suwardjo. 1984. Kepekaan erosi beberapa jenis tanah di Jawa menurut metode USLE. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 17-20.

Kurnia, U., H. Suganda, D. Erfandi, dan H. Kusnadi. 2004. Teknologi konservasi tanah pada budi daya sayuran dataran tinggi. hlm. 133-150. Dalam Kurnia et. al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Lal, R. 1985. Soil erosion and its relation to productivity in tropical soils. p. 237- 247. In S.A. El-Swaifi, W.C. Moldenhauer, and A. Lo (Eds.). Soil Erosion and Conservation. USA.

Langdale, G.W., J.E. Box Jr, R.A. Leonard, A.P. Barnet, and W.G. Fleming. 1979. Corn yield reduction on eroded Southern Piedmont Soils. J. Soil and Water Conservation 34(1): 226-228.

Mangundikoro, A. 1985. Watershed management in Indonesia. Proc. of the Symposium on Watershed and Conservation for Productive and Protective Uplands in ASEAN Region. College, Laguna, Philippines, 25-29 June 1984.

Margrath, W.B. and P. Arens. 1989. The Cost of Soil Erosion in Java: A natural resources accounting approach. Environment Dep. Working Paper 18, 1989. World Bank.

Musa, S. dan I. Parlan. 2002. The 1997/1998 forest fire experience in Peninsular Malaysia. Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatland. Kuala Lumpur, Malaysia, 19-21 March 2002. p. 8.

Partosedono, R.S. 1977. Effects of Man’s Activity on Erosion in Rural Environments and Feasibility Study for Rehabilitation. Publ. 113: 53-54. Paris. IAHS AISH. Parish, F. 2002. Peat-lands, biodiversity and climate change in SE Asia, an overview. Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands. Kuala Lumpur, Malaysia, 19-21 March 2002. p. 11.

Santoso, D., J. Purnomo, I.G.P. Wigena dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi tanah vegetatif. hlm. 77-108. Dalam Kurnia et. al. (Eds): Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Soemarwoto, O. 1974. The soil erosion problem in Java. p. 361-364. Proc. First International Congress of Ecology. The Hague.

Soeyitno, J. dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu pestisida pada agroekosistem tanaman pangan. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Subagyo, H., N. Suharta dan A.B.Siswanto 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 21-66. Dalam Abdurachman et.al. (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Suwardjo, 1981 Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

Tim Peneliti Baku Mutu Tanah. 2000. Pengkajian Baku Mutu Tanah pada Lahan Pertanian. Laporan Akhir kerja sama antara Proyek Pengembangan Penataan Lingkungan Hidup Bappeldada Jakarta dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. No. 50/Puslittanak.

Winoto, J. 2005. Kebijakan pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan implementasinya. Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Bogor. hlm. 8.

Wischmeier, W.H. and D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A Guide to Conservation Planning. USDA Agric. Hand Book 537, Washington
DC.

konservasi tanah dan air

Konservasi Tanah dan Air
Konservasi Tanah dan Air

Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.

Dalam arti yang sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi.

Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.

Konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang berhuibungan erat sekali; berbagai tindakankonservasi tanah adalah juga tindakan konservasi air.

kehadiran agroekoteknologi menguntungkan atau tidak

Surat Keputusan Dirjen Dikti No 163/2007 tentang Penataan Nama dan Kode Program Studi yang berisi penggabungan Program Studi (PS) Budidaya/Agronomi, Hortikultura, dan Arsitektur Lansekap ke dalam satu wadah bernama Agroekoteknologi, bisa jadi didasari pemikiran turunnya minat mahasiswa terhadap program tersebut.
Padahal, jika dicermati kepentingan didirikannya suatu PS tidak semata-mata didasarkan pada hukum penawaran dan permintaan. Bisa dibayangkan, apabila sebuah PS yang didirikan harus mengacu pada jumlah peminat calon mahasiswa, bagaimana nasib sebuah disiplin ilmu yang sangat dibutuhkan bagi pengembangan dunia pertanian di tanah air harus ditututp hanya karena peminatnya sedikit?
Kondisi itu membuat para penyelenggara PS berusaha meningkatkan peminat dengan berbagai cara, termasuk cara-cara yang tidak sehat. Pemerintah semestinya berperilaku adil pada seluruh disiplin ilmu untuk berkembang. Tapi yang kita rasakan sekarang, pemerintah cenderung mengembangkan PS tertentu hanya karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Jika mau jujur mengakui, fenomena terus menurunnya minat mahasiswa untuk belajar pertanian tidak terlepas dari buruknya potret pertanian di negeri ini. Dunia pertanian kita dari waktu ke waktu tidak mengalami perkembangan yang signifikan sehingga meruntuhkan motivasi generasi muda untuk belajar pertanian. Dunia pertanian kita bahkan cenderung ditinggalkan oleh rakyat.
Ini berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah terhadap sektor industri sejak pertengahan tahun 1980-an. Pada dekade sebelumnya, terjadi peningkatan yang luar biasa pada sektor pertanian. Pemerintah menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir atau berjalan dengan sendirinya. Asumsi ini membuat pemerintah mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya.
Tidak Menguntungkan
Sebetulnya, hal ini tidak terlepas dari paradigma pembangunan yang lebih menekankan pada industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatian pada sektor industri, yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan proteksi yang sistematis, di mana secara sadar atau tidak, proteksi ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani (Yayat Dinar N, 2007).
Sebetulnya, fenomena mengenai kemunduran dunia pertanian kita adalah anggapan sektor tersebut tidak lagi menjadi primadona dan tidak menjanjikan. Pendapatan dari sektor pertanian tidak memadai, di mana harga jual rendah sementara biaya produksi tinggi. Sebetulnya, hal ini terjadi karena kelemahan kebijakan pemerintah, mulai dari penyediaan pupuk, pembelian gabah, penerapan harga pembelian pemerintah (HPP), distribusi beras, sampai pengelolaan agrobisnis.
Setiap lini, dari hulu sampai hilir, tidak berjalan sistematis sehingga banyak ketimpangan dalam mengimplemetasikan kebijakan tersebut. Lingkaran inilah yang membuat sektor pertanian tidak menguntungkan karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam proses produksinya.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran dunia pertanian. Pertama, terbatasnya pemasaran produk pertanian. Hanya produk-produk tertentu dari pertanian bisa diserap pasar. Hal ini disebabkan petani tidak memahami konsep pemasaran sehingga kesulitan memasarkan produk-produk pertanian yang akhirnya membuat harga tidak stabil atau tidak menguntungkan.
Faktor kedua, sempitnya lahan pertanian karena banyak disulap menjadi lahan industri dan perumahan. Hal ini disebabkan banyak petani menjual lahannya karena menganggap pertanian sudah tidak bisa dijadikan sandaran hidup. Petani tergiur keuntungan sesaat tanpa mempertimbangkan dampak yang terjadi setelah penjualan tanah tersebut.
Perbankan Belum Percaya
Faktor ketiga, kurangnya penelitian yang dilakukan terhadap pertanian maupun produk pertanian, baik oleh pemerintah maupun institusi-institusi terkait, seperti lembaga-lembaga pendidikan tinggi, sehingga pertanian berjalan monoton dan produk pertanian tidak bervariasi. Ini merupakan problematika mendasar dari pola kebijakan pemerintah, di mana tidak ada kebijakan yang merangsang berkembangnya institusi atau lembaga-lembaga penelitian pertanian.
Faktor keempat, kurangnya dukungan finansial bagi dunia pertanian. Selama ini, bank, baik milik pemerintah maupun swasta, kurang mengucurkan kredit bagi usaha-usaha pertanian sehingga sulit untuk berkembang karena kesulitan finansial. Selama pihak perbankan masih belum sepenuhnya percaya terhadap dunia pertanian, dengan sendirinya dunia pertanian kita tidak berkembang.
Kondisi-kondisi itulah yang membuat sektor pertanian tidak berkembang. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan kebijakan pemerintah yang lebih kondusif dan konklusif untuk mengembangkan serta meningkatkan kualitas sektor pertanian. Pemerintah perlu melakukan integrasi sektor pertanian dalam kebijakan makro agar tidak berat sebelah mendukung sektor industri. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana (termasuk untuk penelitian). Subsidi tetap diperlukan, namun bukan subsidi sektoral, melainkan subsidi kelompok miskin yang kebanyakan berada di pedesaan.
Melihat konstelasi pendidikan pertanian Indonesia yang terus dibongkar pasang—sehingga sekarang kalau melihat daftar di Dikti, disiplin ilmu pertanian untuk program sarjana hanya dua: Agro teknologi dan Agrobisnis—tak berlebihan untuk dikatakan bahwa orientasi neokapitalisme menang. Sisi manusia pertanian yang sudah mulai diabaikan akan membuat orang-orang malu dan minder dengan istilah pertanian.
Proses dehumanisasi dalam pertanian ini pun tampak terasa dengan fakta dileburnya program studi yang berbau sosial ekonomi pertanian/perikanan/peternakan/kehutanan. Sementara itu, fakultas-fakultas ekonomi di berbagai perguruan tinggi di Tanah Air pun tidak menfokuskan pada aspek sosial ekonomi di bidang pertanian/perikanan/peternakan/kehutanan ini. Padahal, kita sadar bahwa Indonesia adalah negara agraris dan negara maritim.
Deden Hendrawan, pemerhati masalah bangsa, alumnus University of Illinois USA – SinarHarapan

konservasi tanah dan air pada lahan kering

Konservasi Tanah dan Air di Lahan Kering


Juli 3, 2007 — La An Berdasarkan data yang dibuat oleh puslitbangtanak pada tahun 2002, potensi lahan kering di Indonesia sekitar 75.133.840 ha. Suatu keadaan lahan yang sangat luas. Akan tetapi lahan2 kering tersebut tidak begitu menghasilkan dan berguna bagi masyarakat yang tinggal di sekitar area lahan kering. Hal ini disebabkan oleh masih kurangnya teknologi pengelolaan lahan kering sehingga sering mengakibatkan makin kritisnya lahan2 kering. Erosi, kekurangan air dan kahat unsur hara adalah masalah yg paling serius di daerah lahan kering. Paket2 teknologi untuk mananggulangi masalah2 tersebut juga dah banyak, akan tetapi kurang optimal di manfaatkan karena tidak begitu signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan petani daerah lahan kering. Memang perlu kesabaran dalam pengelolaan daerah lahan kering, karena meningkatkan produktivitas lahan di daerah lahan kering yang kondisi lahannya sebagian besar kritis dan potensial kritis tidaklah mudah. Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional yang cukup mampu menanggulangi masalah diatas. Dengan menerapkan sisitem konservasi tanah dan air diharapkan bisa menanggulangi erosi, menyediakan air dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah serta menjadikan lahan tidak kritis lagi. Ada 3 metode dalam dalam melakukan konservasi tanah dan air yaitu metode fisik dengan pegolahan tanahnya, metode vegetatif dengan memanfaatkan vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi dan penyediaan air serta metode kimia yaitu memanfaatkan bahan2 kimia untuk mengaawetkan tanah. Menurut Sitanala Arsyad (1989), Konservasi Tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedangkan konservasi Air menurut Deptan (2006) adalah upaya penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara efisien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air selalu berjalan beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah juga di lakukan tindakan konservasi air. Dengan dilakukan konservasi tanah dan air di lahan kering diharapkan mampu mengurangi laju erosi dan menyediakan air sepanjang tahun yang akhirnya mampu meningkatkan produktivitasnya. Tanah2 di daerah lahan kering sangat rentan terhadap erosi. Daerah lahan kering biasanya mempunyai curah hujan yg rendah dan intensitas yg rendah pula, dengan kondisi seperti itu menyebabkan susahnya tanaman2 tumbuh dan berkembang, padahal tanaman merupakan media penghambat agar butiran hujan tidak berbentur langsung dengan tanah. Benturan seperti inilah yg menyebabkan tanah mudah terurai sehingga gampang di bawa oleh aliran air permukaan dan akhirnya terjadi erosi. Pemanfaatan vegetasi pada system konservasi tanah dan air selain sebagai penghambat benturan juga berguna sebagai penghambat aliran permukaan, memperbaiki tekstur tanah dan meningkatkan kadar air tanah
Penggabungan metode vegetatif dan fisik dalam satu teknologi diharapkan mampu mengefisienkan waktu dan biaya yg dibutuhkan. Misalkan penanaman tanaman pada sebuah guludan ato penanaman tanaman di sekitar rorak. Dan langkah terakhir yg di harapkan adalah penanaman tanaman yg bernilai ekonomis tinggi seperti jambu mete.
Ciri2 Tanah RUSAK CIRI-CIRI LAHAN POTENSIAL DAN LAHAN KRITIS Anda telah memahami pengertian lahan potensial dan lahan kritis. Dapatkah sekarang Anda menyebutkan ciri-ciri lahan potensial dan lahan kritis? 1. Ciri-ciri Lahan Potensial dan Lahan Kritis dilihat dari sudut Pertanian a. Ciri-ciri Lahan Potensial Untuk Pertanian 1. Tingkat Kesuburan Tinggi Lahan yang subur adalah lahan dengan tanah yang banyak mengandung mineral untuk kebutuhan hidup tanaman. Hal ini sangat tergantung pada jenis tanaman yang diusahakan. Untuk tanaman biji-bijian banyak membutuhkan mineral posfor, untuk tanaman sayuran membutuhkan mineral zat lemas (N2), dan tanaman umbi-umbian membutuhkan mineral alkali. Jadi agar lahan dapat berproduksi secara optimal harus disesuaikan, antara jenis mineral yang dikandung lahan dengan jenis tanaman yang akan diusahakan.
Gambar 1.3 Daerah wilayah subur di daerah pegunungan dengan sawah dan sayuran
2. Memiliki Sifat Fisis yang Baik Lahan yang memiliki sifat fisis baik adalah lahan yang daya serap air dan sirkulasi udara di dalam tanahnya cukup baik. Sifat fisis ini ditunjukkan oleh tekstur dan struktur tanahnya. Tekstur tanah adalah sifat fisis tanah yang berkaitan dengan ukuran partikel pembentuk tanah. Partikel utama pembentuk tanah adalah pasir, lanau (debu), dan lempung (tanah liat). Berasarkan ukuran partikel batuan, perhatikan tabel 2.
Tabel 2. Butir batuan dan diameternya.
Tekstur tanah berpengaruh terhadap daya serap dan daya tampung air.
Tanah lempung teksturnya sangat halus, mudah menampung air tetapi daya serapnya kecil. Sebaliknya tanah pasir mudah menyerap air, tetapi sukar menampungnya. Tekstur tanah yang ideal untuk pertanian adalah geluh, yaitu tanah yang lekat. Tekstur tanah geluh terdiri dari dua macam tanah, yaitu tanah lanau (20% lempung, 30 - 50% lanau dan 30 - 50% pasir) dan tanah lanau berpasir (20 - 50% lanau/lempung, 50 - 80% pasir). Struktur tanah adalah sifat fisis tanah yang dikaitkan dengan cara partikelpartikel tanah berkelompok. Struktur tanah ini berpengaruh terhadap pengaliran air dan sirkulasi udara di dalam tanah. 3. Belum Terjadi Erosi Terjadinya erosi pada suatu lahan akan menyebabkan berubahnya lahan potensial menjadi lahan kritis. Lahan yang telah mengalami erosi, tingkat kesuburannya berkurang, sehingga kurang baik untuk pertumbuhan tanaman. Erosi mengakibatkan lahan tanah yang paling atas terkelupas. Sisanya tinggal tanah yang tandus, bahkan sering merupakan batuan yang keras (padas). Proses erosi yang kuat sering dijumpai di daerah pantai, akibat abrasi (pengikisan oleh gelombang laut) dan di daerah pegunungan dengan lereng terjal serta miskin tumbuhan. Erosi di pegunungan akibat adanya longsor dan soil creep (tanah merayap). b. Ciri-ciri Lahan Kritis Untuk Pertanian 1. Tidak Subur Lahan tidak subur adalah lahan yang sedikit mengandung mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Umumnya lahan tidak subur terdapat di daerah yang resiko ancamannya besar (ancaman erosi dan banjir). 2. Miskin Humus Lahan yang miskin humus umumnya kurang baik untuk dijadikan lahan pertanian, karena tanahnya kurang subur. Anda pernah mendengar istilah tanah humus? Tanah Humus adalah tanah yang telah bercampur dengan daun dan ranting pohon yang telah membusuk. Tanah humus dapat dijumpai di daerah yang tumbuhannya lebat, contohnya hutan primer. Sedangkan lahan yang miskin humus adalah lahan yang terdapat di daerah yang miskin atau jarang tumbuhan, contohnya kawasan pegunungan yang hutannya rusak.
Gambar 1.4 Lahan Kritis di daerah pegunungan yang gundul / hutan yang rusak
Anda sudah mengetahui ciri-ciri lahan potensial dan lahan kritis. Cobalah sekarang Anda jawab latihan di bawah ini.
Untuk mengetahui suatu lahan potensial untuk pertanian dapat dilihat dari ciri-cirinya: yaitu tanahnya subur, memiliki sifat jenis yang baik dan belum mengalami erosi. Begitu juga suatu lahan kritis untuk pertanian bila memiliki ciri-ciri: tidak subur dan miskin humus. Silahkan cocokkan jawaban latihan 3 Anda dengan uraian di atas, sudah cocokkah? Bila Anda telah memahami ciri-ciri lahan potensial dan lahan kritis untuk pertanian dan menjawab latihannya dengan tepat. Silahkan Anda lanjutkan mempelajari materi selanjutnya. 2. Ciri-ciri Lahan Potensial dan Lahan Kritis dilihat dari Sudut Permukiman Anda telah mengetahui ciri-ciri lahan potensial dan lahan kritis dilihat dari sudut pertanian. Sekarang silahkan Anda mempelajari tentang ciri-ciri lahan potensial dan lahan kritis dilihat dari sudut permukiman. a. Ciri-ciri Lahan Potensial untuk Permukiman Anda masih ingat dengan pengertian lahan potensial dalam arti luas? Dalam arti luas, lahan potensial tidak hanya dilihat dari sudut pertanian, tetapi juga dari sudut permukiman. Untuk lebih jelasnya, silahkan pelajari uraian di bawah ini. Ciri-ciri lahan potensial untuk permukiman antara lain: 1. Daya Dukung Tanah Besar Artinya memiliki kemampuan untuk menahan beban dalam ton tiap satu meter kubik. Jadi bila didirikan bangunan di atasnya tidak amblas. 2. Fluktuasi Air Baik Artinya memiliki kedalaman air tanah yang sedang. Fluktuasi air berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, jika air tanahnya dangkal maka keadaan di atasnya lembab dan jika air tanahnya dalam maka keadaan di atasnya gersang (kering/tandus). 3. Kandungan Lempung cukup Kandungan lempung berpengaruh terhadap kembang kerutnya tanah. Hal ini erat kaitannya dengan pembuatan pondasi,pembangunan jalan, saluran air, dan sebagainya. 4. Topografi Topografi yang ideal untuk permukiman adalah yang kemiringan lahannya antara 0% sampai 3%. Kemiringan merupakan perbandingan antara jarak
vertikal dan jarak horisontal dikali 100%. Kemiringan lereng gambar di sebelah kiri adalah:
Gambar 1.5 Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng 0% berarti tanahnya rata, dan kemiringan lereng 100% berarti sudut kemiringannya 45% (sangat curam). Topografi erat kaitannya dengan kenyamanan hunian (tempat tinggal) dan keamanan dari ancaman bencana alam seperti tanah longsor, banjir, dan sebagainya. b. Ciri-ciri Lahan Kritis untuk Permukiman Anda telah mengetahui ciri-ciri lahan potensial untuk permukiman. Lalu bagaimana dengan ciri-ciri lahan kritis untuk permukiman? Ciri-ciri lahan kritis untuk permukiman adalah kebalikan dari ciri-ciri lahan potensial untuk pertanian, yaitu: 1) Daya dukung tanah rendah, artinya tidak mampu menahan beban dalam ton tiap satu meter kubik. Sehingga bila didirikan bangunan di atasnya, bangunan tersebut akan roboh (amblas). 2) Fluktuasi air tidak baik, artinya air tanahnya terlalu dangkal atau terlalu dalam. Hal ini dapat mempengaruhi bangunan dan kesehatan penduduk yang tinggal di atas lahan tersebut. 3) Topografi Topografi yang tidak cocok untuk permukiman adalah yang kemiringannya lebih dari 3%. Karena topografi dengan kemiringan lebih dari 3% resiko ancaman bencana alam seperti tanah longsor dan banjir besar. Hal ini dapat mengganggu kenyamanan hunian dan keamanan dari bencana alam tersebut. Kemiringan lereng pada gambar di bawah ini adalah ....
Untuk mengetahui suatu lahan potensial atau kritis untuk pemukiman dapat dilihat dari kemiringan lerengnya yaitu perbandingan antara jarak vertikal (y) dan jarak horisontal (x) dikalikan 100% atau Coba periksa kembali jawaban latihan Anda, apakah cara menghitung kemiringan lerengnya sudah sesuai dengan uraian di atas? Setelah Anda mengetahui ciri-ciri lahan potensial dan lahan kritis untuk permukiman serta berhasil menjawab latihannya dengan tepat. Silahkan Anda pelajari materi selanjutnya.
Degradasi Lahan Akibat Alih Fungsi Lahan menjadi Lahan pertanian Monokultur
Pendahuluan Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan erat dengan pembukaan hutan, terjadinya pergeseran lahan pertanian ke daerah tengah dan hulu dengan kemiringan lahan lebih curam dan beresiko tinggi terhadap erosi. Degradasi lahan dan perluasan lahan kritis. Sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan, kondisi hutan di Indonesia semakin menurun. Berdasarkan hasil citra landsat tahun 1999-2000 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, kondisi penutupan vegetasi pada kawasan hutan seluas 93,5 juta ha di Indonesia selain Papua adalah: Hutan primer 20,4 juta ha (21,8%), hutan tanaman 2,4 juta ha (2,6%), hutan sekunder 29,7 juta ha (31,8%), nonhutan (semak-belukar, padang alang-alang, lahan kosong) 27,6 juta ha (29,5%), tidak dapat diidentifikasi (tertutup awan, dsb) 13,4 juta ha (14,3%) (Dephut, 2002). Kondisi hutan terus mengalami kerusakan dengan laju degradasi sekarang mencapai 2 juta/tahun meningkat dari hanya 0,9 ha/tahun pada 1980-1990. Lahan yang mengalami kerusakan mencapai 56,9 juta ha, yang terdiri dari: lahan kritis di luar kawasan hutan 15,1 juta ha, lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi 8,1 juta ha, hutan rusak di dalam kawasan hutan produksi 27,8 juta ha, hutan mangrove di dalam dan luar kawasan hutan 5,9 juta ha (Dephut, 2000).
Lahan hutan memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan kondisi tanah, air dan udara. Fungsi hutan sangat penting dalam menunjang fungsi kehidupan ekologi lainnya. Keberadaan hutan yang paling penting adalah menjaga daur air yang ada dalam tanah. Tanah hutan mempunyai laju infiltrasi permukaan yang tinggi dan makroporositas yang relatif banyak, sejalan dengan tingginya aktivitas biologi tanah dan pergerakan perakaran. Kondisi ini mendukung air hujan yang jatuh dapat mengalir ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam dan juga mengalir secara lateral (Susswein et al.,2001). Perkembangan perakaran tanaman hutan mampu menekan dan
memperenggang agregat tanah yang berdekatan, sehingga memicu terbentuknya pori baru yang leih besar. Aktivitas penyerapan air oleh akar tanaman hutan juga berpengaruh terhadap kondisi tanah yang ada sehingga, menyebabkan dehidrasi tanah, pengkerutan, dan terbukanya rekahan-rekahan kecil. Kedua proses tersebut dapat memicu terbentuknya pori yang lebih besar (makroporositas). Dengan kata lain pembentukan makroporositas ini selain disebabkan oleh adanya celah atau ruang yang terbentuk dari pemadatan matrik tanah juga adanya gangguanaktivitas perakaran, hewan tanah, pembengkaan, perekahan dan pengkerutan tanah (Marshall et al.,1999). Aktivitas dalam ekologi tanah hutan tidak berhenti pada taraf ini saja. Lebih jauh, exudant akar dan akar yang mati khususnya akar rambut akan memicu aktivitas mikroorganisme yang akan menghasilkan bahan humik yang berfungsi sebagai semen. Bahan humik tanah mempunyai peranan yang besar terhadap agregasi liat tanah yang berukuran relatif kecil, sedang peranannya terhadap agregasi agregat kecil atau partikel debu dan pasir relatif kecil (Marshall et al., 1999). Dengan adanya fungsi perakaran yang disati sisi dapat merugikan di sisi lain perakaran yang telah mati dapat mencptakan kondisi yang seimbang pada tanah hutan Kondisi tanah hutan umumnya berfungsi sebagai filter. Tanah hutan memiliki kondisi yang remah dengan kapasitas infiltrasi air yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang terus menerus dari daun-daun, cabang dan ranting yang berguguran sebagai seresah, dan dari akar tanaman serta hewan tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya infiltrasi air tanah, dan adanya penyerapan air dan hara oleh tumbuhan hutan, maka adanya limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah dapat dikurangi. Jadi hutan
berperan sebagai filter, dan fungsi daerah aliran sungai (DAS) sangat ditentukan oleh adanya filter tersebut. Hutan dapat menjadi tempat penyimpan air sehingga dapat memperkecil erosi yang terjadi. Dengan adanya hutan di suatu wilayah maka pada wilayah tersebut memiliki tutupan lahan yang dapat menahan tanah tetap pada tempatnya dengan adanya ikatan antara misel tanah dengan akar. (Cooper et al, 1996) Peran hutan yang sangat penting bagi alam, dapat sebagai faktor pembatas keseimbangan keadaan alam yang ada di daerah tersebut. Peran hutan tersebut juga merupakan salah satu penyeimbang kelangsungan hidup biota dalam hutan dan menjaga diversitas tanaman. Hutan juga memiliki peran tersendiri bagi masyarakat, sebagai tempat ekosistem hasil sumber daya yang dapat terbaharukan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pembukaan lahan hutan menjadi lahan tanaman monokultur dapat diduga sebagai penyebab rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kerusakan struktur tanah lapisan atas serta lapisan bawah di akibatkan karena berubahnya lingkungan atau kondisi tanah hutan yang semula habitat akar dan terjadi interaksi antara tanah dengan akar. Perubahan ini menghasilkan kondisi tanah yang berbeda, sehingga pada awalnya tanah hutan mampu menjaga fungsi tanah menjadi menurun akibat tidak rusaknya keseimbangan kondisi tanah karena perakaran hutan yang hilang. Perubahan kondisi tanah ini, disebabkan karena adanya perubahan karakteristik jenis perakan pada tanah hutan yang lebih bervariasi dari pada pada lahan pertanian monokultur. Jenis perakan yang monokultur cenderung memiliki kapasitas yang sama dalam menjalankan aktivitasnya dalam tanah. Perbedaan jenis perakan juga mempengaruhi keberadaan biota dalam tanah. Selain perbedaan perakaran dalam tanah, perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian monokultur menyebabkan berubahnya tutpan lahan yang semula adalah multistrata mendaji strata tunggal dimana tajuk tanaman menjadi seragam. Tajuk yang berstrata akan membantu dalam mengurangi lebih besar kontak tanah terhadap air hujan dari pada kondisi tanaman monokultur. Dengan rusaknya sifat fisika tanah hutan yang berawal dari perubahan kondisi struktur talah lapisan atas dengan lapisan bawah maka dapat dikatakan bahwa
perubahan fungsi lahan hutan menjadi lahan tanaman monokltur dapat menyebebkan degradasi sifat-sifat tanah. Dalam hal ini degradasi sifat tanah akan mempengaruhi sifat satu dengan yang lainnya. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi lahan yang berlebihan, perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada keberlangsungan hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas terus berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini dapat berupa degradasi lapisan tanah (erosi), kesuburan tanah, longsor dan sedimentasi yang tinggi dalam sungai, bencana banjir, disribusi dan jumlah atau kualitas aliran air sungai akan menurun.
ISI Kerusakan struktur tanah akan berdampak terhadap penurunan jumlah makroporositas tanah dan lebih lanjut akan diikuti penurunan laju infiltrasi permukaan tanah dan peningkatan limpasan permukaan. Kerusakan struktur tanah yang demikian akan menyebabkan berubahnya pola aliran air di dalam sistem tata guna lahan. Dengan adanya kerusakan struktur tanah tersebut juga akan menyebabkan menurunkan potensi tanah dalam menyimpan air. Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran tanaman dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah tersebut selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah sehingga menjadi agregat atau partikel yang lebih kecil juga menyebabkan terbentuknya kerak di permukaantanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Agregat atau partikel-partikel yang halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehinggamenyebabkan penyumbatan pori tanah. Pada saa thujan turun kerak yang terbentuk di permukaan tanahjuga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat proses penyumbatan pori tanah ini porositas tanah,
distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah untukmengalirkan air mengalami penurunan dan limpasan permukaan akan meningkat. Sehingga peluang terjadinya erosi permukaan akan terjadi. Perubahan sifat fisika yang terjadi dapat dilihat secara langsung dan ada yang mengalami perubahan sejalan dengan waktu. Tekstur tanah pada kondisi alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian monokultur juga ikut berubah jumlah fraksi yang membentuk suatu tanah. Menurut penelitian Didik Suprayogo dkk 2001 pada kasus perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian kopi monokultur, terjadi perubahan kandungan fraksi tanah. Semula pada tanah hutan diketahui fraksi tanag berkisar dari lempung liat berpasir hingga lempung berpasir. Setelah mengalami perubahan fungsi lahan tekstur tanah berubah menjadi tekstur liat. Perubahan tekstur tanah ini juga mempengaruhi terhadap fungsi kimia tanah , yaitu reaksi yang terjadi dalam tanah potensilal H+ . Perubahan yang terjadi selain tekstur tanah adalah kandungan bahan organic menurut penelitian didik Suprayogo tahun 2001 pada kasus perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian kopi monokultur terjadi degradasi bahan organic secara bertahap. Degradasi bahan organic akan berpengaruh terhadap laju infiltrasi dan kapasitas memegang air. Alih guna lahan hutan menjadi kebun kopi monokultur menurunkan makroporositas tanah. Perubahan makroporositas tanah secara nyata dipengaruhi oleh sebaran partikel tanah, kandungan bahan organik tanah terutama di lapisan atas, pembentukan kerak di lapisan atas dan distribusiperakaran tanaman, dan kemantapan agregat. Meningkatnya kandungan liat dan debu dan menurunnya kandungan pasir akan berdampak terhadap penurunan makroporositas tanah. Kandungan bahan organik tanah hingga kedalaman 60 cm masih berperan dalam memperbaiki makroporositas tanah. Perkembangan perakaran yang menyebar kedalam lapisan tanah baik secara vertikal maupun horisontalberdampak terhadap peningkatan makroporositastanah. Hancuran agregat tanah yang masuk kedalam lapisan tanah bersamaan dengan aliran air menyebabkan penyumbatan pori tanahsehinggaketahanan penetrasi tanah meningkat danmakroporositas menurun.
Yang perlu diketahui bahwa tanah hutan mempunyai makro pori relatif lebih banyak dan laju infiltrasi permukaan yang lebih tinggi dibanding lahan pertanian monokultur. Hutan telah terbukti mampu menurunkan limpasan permukaan dan erosi (Widianto et al., 2004). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, (a) hutanmemiliki lapisan seresah yang tebal, (b) penutupan permukaan tanah oleh kanopi tanaman dan (c) cacing tanah yang hidup pada tanah hutan ukuran tubuhnyalebih besar dibandingkan dengan lahan pertanian monokultur (Hairiah et al., 2004). Kondisi ini menyebabkan tingginya kandungan bahan organic tanah dan rendahnya tingkat pembentukan kerak di permukaan tanah, sehingga makroporositas tanah di lahan hutan lebih terjaga dibanding di lahan pertanian monokulutur . Kedua, hutan dapat menurunkan ketersediaan air bawah tanah sehingga limpasan permukaan akan berkurang. Hal ini karena hutan memiliki sistem perakaran yang panjang dan berkembang dengan sangat baik dalam sistem tanah . Kondisi ini memicu tingginya aktivitas biologi tanah dan turnover perakaran, sehingga mendukung air hujan yang jatuh dapat mengalir ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam dan juga mengalir secara lateral. Lebih lanjut, pada musim kemarau akar pohon cenderung tumbuh lebih dalamdi lapisan tanah untuk menyerap air. Ketiga,dibandingkan dengan lahan monokultur, evapotranspirasi hutan cenderung lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan tajuk tanaman di hutan yang relatif lebih tinggi dan beraneka ragam dibandingkan pertanian monoklutur monokultur. Selain itu, pohon dihutan berperakaran lebih dalam sehingga mampu menyerap air lebih banyak dan hilang melalui prosestranspirasi. Kondisi ini mampu mengurangi limpasan permukaan di DAS (Bosch dan Hewlett, 1982 dalam Calder, 1999). Hasil penelitian Dariah et al. (2004) menunjukkan bahwa limpasan permukaan dan erosi relatif rendah di lahan pertanian monokultur dan mendekati dengan kondisi hutan. Pengelolaan lahan sistem pertanian monokultur sangat diperlukan guna mempercepat pemulihan fungsi hidrologi DAS. Strategi dasar yang dapat dilakukan berdasarkan penelitian ini adalah: (1) eliminasipengkerakan tanah atas melalui “pengolahan dalam” secara berkala, (2) peningkatan kandunganbahan organik melalui peningkatan jumlah masukan seresah yang bervariasi kualitasnya. Upaya ini dapat dilakukan melalui penanaman tanamanpenutup tanah dan atau peningkatan diversivitas tanaman pohon seperti yang dijumpai dalam agroforestri multistrata, (3) Peningkatan diversivitas pola sebaran perakaran. Sistem agroforestri multistrata
memperbaiki keragaman kondisi perakaran di lahankopi monokultur yang relatif sangat rendah Ketiga strategi dasar tersebut merupakan upayayang dapat ditawarkan untuk engembalikan fungsitanah dalam pengendalian fungsi hidrologi DAS. Pengelolaan kebun kopi monokultur melalui pengelolaan vegetasi perlu dikombinasikan dengan pengelolaan pada skala bentang lahan. Pengelolaan vegetasi dapat dilakukan melalui pengaturan jaraktanam pohon dan macam pohon yang ditanam untuk mengoptimalkan peranan pohon dalam meningkatkanintersepsi air hujan dan transpirasi oleh tajuk daun. Pengelolaan bentang lahan dapat dilakukan melalui peningkatan kekasaran permukaan lahan, membuat cekungan-cekungan setempat untuk enyediakanpenyimpanan air sementara selain berfungsi sebagai filter sedimen dan memperpanjang “saluran” aliran limpasan permukaan. Dengan demikian jalur untuk terjadinya limpasan permukaan yang cepat dapat dikurangi. Penutup Hutan telah terbukti mampu menurunkan limpasan permukaan dan erosi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, (a) hutan memiliki lapisan seresah yang tebal, (b) penutupan permukaan tanah oleh kanopi tanaman dan (c) cacing tanah yang hidup pada tanah hutan ukuran tubuhnyalebih besar dibandingkan dengan lahan pertanian monokultur. Kedua, hutan dapat menurunkan ketersediaan air bawah tanah sehingga limpasan permukaan akan berkurang. Hal ini karena hutan memiliki sistem perakaran yang panjang dan berkembang dengan sangat baik dalam sistem tanah. Ketiga,dibandingkan dengan lahan monokultur, evapotranspirasi hutan cenderung lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan tajuk tanaman di hutan yang relatif lebih tinggi dan beraneka ragam dibandingkan pertanian monoklutur monokultur. Untuk pengelolaan tanah,tiga strategi dasar yang dapat disarankan yaitu(1) eliminasi pengkerakan tanah atas melalui“pengolahan dalam” secara berkala, (2) peningkatankandungan bahan organik tanah melalui peningkatanjumlah masukan seresah yang bervariasi kualitasnya,dengan cara menanam tanaman penutup tanah ataudengan menanam berbabagai jenis pohon seperti yangdijumpai dalam sistem agroforestri multistrata.Peningkatan diversivitas tanaman pohon dalam system
agroforestri multistrata juga merupakan strategi ke (3)dalam rangka meningkatkan jumlah dan penyebaran sistem perakaran di lahan pertanian monokultur.
DAFTAR PUSTAKA
Calder, I.R. 1999. The Blue Revolution: Land Use and Integrated Water Resources Management. Earthscan Publications, London. 192 pp.
Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L. 1996. Agroforestri and Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub Humid Trofical of Africa, Experimental Agriculture 32, 249-261.
Dariah, A.; Agus, F.; Arsyad, S.; Sudarsono danMaswar. 2004. Erosi dan aliran permukaan pada lahan pertanian berbasis tanaman kopi diSumberjaya, Lampung Barat. Agrivita 26 (1):52-60.
Departemen Kehutanan. http://www.dephut.org.id/ diakses tanggal 25 Februari 2008
Hairiah, K.; Suprayogo, D.; Widianto; Berlian; Suhara,E.; Mardiastuning, A.; Prayogo, C.; Widodo, R.H.dan S. Rahayu. 2004. Alih guna lahan hutan menjadi lahan agroforestri berbasis kopi:Ketebalan seresah, populasi cacing tanah dan makroporositas tanah. Agrivita 26 (1): 75-88 Marshall, T.J.; Holmes, J.W. and C.W. Rose. 1999.Soil Physics. Cambridge University Press. Pp 453.Syam,T.H.; Mshide; Salam, A.K.; Utomo, M.; Mahi,A.K.; Lumbanraja, J.; Nugroho, S.G. and M.Kimura. 1977. Land Use and Cover Changes ina Hilly Area of South Sumatra, Indonesia (from1970 to 1990). Soil Sci. Plant Nutr. 43 (3): 587-599. Susswein, P.M.; Van Noordwijk, M. dan B. Verbist.2001. Forest Watershed Functions and Tropical Land Use Change. Dalam van Noordwijk, M.;Williams, S. dan B. Verbist (Eds.), Towards integrated natural resource management in forest margins of the humid tropics: local action andglobal concerns. International Centre for Research in Agroforestry. Bogor. 28 pp Widianto; Noveras, H.; Suprayogo, D.; Widodo, R.H.;Purnomosidhi, P. dan M. van Noordwijk. 2004.Konversi Hutan Menjadi Lahan Pertanian :Apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan sistem kopi monokultur?